Monday 13 June 2011

Batatamba-2

Secara tekhnis, "tawar magis" seorang "penanamba" biasanya disalurkan melalui kekuatan supra-natural dengan bacaan, berupa do'a ataupun mantera. Tulisan dan simbol untuk menolak bala, misalnya "jimat", "tanda cacak burung", "motif daun jaruju dan banaspati (kala)" ; air penawar yang dinumkan, dimandikan (bamandi-mandi), dibasuhkan kewajah atau dipercikan.


Atau dengan menggunakan benda-benda tertentu yang diyakini mengandung kekuatan dan ditakuti makhluk gaib, misalnya kain berwarna kuning, (kain sarigading), cermin, sisir, pisau kecil, rumput jaringau dan sebagainya.





Disinyalir bahwa ritual "batatamba" dipengerahui oleh kepercayaan orang Banjar yang berhubungan dengan pemaknaan mereka atas alam lingjkungan sekitarnya. Karena itu, apabila tidak berizin (pamit) dan kemudian tertimpa musibah atau sakit (kapuhunan), maka sakitnya itu disebabnya oleh pengaruh makhluk gaib dimaksud. Kapercayaan ini kemudian ber akulturasi seiring dengan datangnya agama Islam.
Dialektika atau Akulturasi tersebut juga menyentuh laku "batatamba". Apabila sebelum Agama Islam datang untuk ritual pengobatan tersebut dibacakan mantera, maka kemudian ia berubah dan dibacakan do'a sebagai penggantinya atau ditambahkan kalimat Syahadat pada akhir mantera.

Penggunaan ukiran kaligrafi yang menggantikan simbol penolak bala; wafak yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an atau Yassin untuk penghalat (pembatas) agar terhindar dari gangguan makhluk gaib, mengarak Kitab Bukhari untuk menolak bala dan sebagainya.


Baca selanjunya yaaa...??







Sumber;
Mimbar Opini-BPost No.14299.
Zulfa Jamalie Pengurus Lembaga Kajian Islam, Sejarah, dan Budaya Banjar.

Photobucket Photobucket

Site Search